Senin, 19 Juli 2010

Tulis Saja Laah... >>>>

Usia bertambah, hidup pun berubah, menagapa tidak! Kalau itu baik. Hidup tak selamanya begitu-begitu saja, hidup terus berputar. Semakin banyak masalah semakin banyak pula yang dipikirkan, harusnya semakin dewasa dan matang, semakin mengerti pada apa yang benar dan tidak, semakin ingin hidup menjadi lebih baik.

Siapa yang ingin hidupnya hanya menjadi anak kecil saja? Rugi sekali! Apakah memang itu yang diinginkan dalam hidup? Tidak ingin kah merasakan indahnya masa remaja yang luar biasa? Tidak inginkah menjadi dewasa yang penuh perjuangan? Indah, semuanya indah, jika pandai bersyukur. Jalani sesuai waktu dan porsinya.

Lalu ada apa dengan manusia zaman sekarang? Bangga dengan bukan dirinya dan bukan lagi saatnya, berdiri kokoh pada pendirian yang bukan mestinya, bertahan dengan penyangkalan-penyangkalan yang itu tidak pantas disangkal. Sungguh disayangkan.

Hidup bukan hanya untuk diri sendiri, ada dia, kamu, mereka, kalian, banyak orang. Mereka yang bertahan adalalah mereka yang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Tidak selamanya hidup hanya berpangku tangan meminta belas kasihan. Tentu saja Allah tidak menyukai orang-orang yang seperti itu. Tidak takut kah jika tidak disukai Allah? Sulit memang untuk mengerti keadaan sekitar jika masih saja bercengkrama dengan kata egois. Tuhan memberi otak (pikiran) tetapi Tuhan tahu hati (perasaan) juga diperlukan manusia. Apa artinya? Dipakai satu-satu kah? Agar lebih hemat, kalau otak rusak, kan bisa pakai hati, supaya lebih hemat. Ooh, adakah yang berpikir seperti itu. Rasanya tidak mungkin. Tapi secara tidak sadar, ada saja manusia yang seperti itu. Membunuh perasaannya untuk menyenangkan egonya hingga hati pun buta untuk melihat norma. Menon-aktifkan otaknya untuk mencari belas kasihan hingga merusak jiwa.

Balance, seimbang, gunakan sesuai porsinya. Manusia punya norma (superego) yang memberi warning atas segala tindakan yang akan dilakukan, baik kah? Bermanfaat kah? Sesuai kah? Setiap manusia yang dilahirkan pasti memiliki sifat baik. Kalau kata Padi : “ kita terlahir bagai selembar kertas putih, tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai”. Nah, ingin kah menulisnya dengan tinta pesan damai seperti yang di sampaikan Padi? Atau ingin menumpahkan tinta hitam saja? Itu terserah yang bersangkutan.

Kesadaran, manusia juga memiliki sifat jahat, egois, sombong, merasa benar dan sebagainya. Sekarang coba sadari, benarkah itu semua? Ya, mungkin benar untuk orang yang ingin hidup hanya dengan ke”aku”an. Tetapi tidak untuk orang yang hidup dengan kamu, dia, mereka, kalian, banyak orang, dan alam sekitar. Semua butuh kesadaran, kesadaran untuk apa dilahirkan ke dunia ini. Menjadi manusia yang bermanfaat atau hanya sekedar numpang hidup saja.

Satu hal yang diherankan, mengapa ada manusia yang menertawakan ketika temannya berubah menjadi baik? Apakah itu sebuah bentuk ketakutan akan kehilangan teman bermaksiatnya? Bukan kah seharusnya malu karena tidak bisa mengikuti jejaknya?
Masalah timbul karena melihat sesuatu yang tidak sesuai atau menyimpang, bukan dilihat dari kacamata sendiri atau subyektif. Bukan kah hal di atas bisa dikatakan suatu hal menyimpang? Kenapa di tertawakan dan diolok-olokkan?

Kesalahan manusia adalah tidak melihat dirinya, tidak menyadari perilakunya, tidak mampu menjalankan otak dan hatinya. Siapa yang patut dipersalahkan? Tentu saja orang tua berperan. Orang pertama yang dikenal dan di contoh (modeling), orang pertama yang memberi pendidikan. Bekal yang cukup dan baik tentu saja menjadi pegangan anak untuk berperilaku sesuai dan tidak menyimpang. Lingkungan, di sana tempat belajar hidup. Keanehan, kehebatan, kebrutalan, kebijaksanaan, kejahatan, dan sebagainya tersedia di lingkungan. Tetap keluarga (orang tua) adalah filternya, dengan agama, etika, norma, dan segala kebaikan orang akan mampu membedakan mana benar dan mana salah, mana pantas dan mana yang tidak pantas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar